Selasa, 10 April 2012

Pelajar SD dan SMP di Lingat Terlantar, Salahnya Bupati atau Guru Setempat?


Pendidikan adalah hak warga negara, dan itu termuat jelas dalam konstitusi kita, UUD tahun 1945, Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Namun, apa jadinya jika hak itu tidak didapat dan dinikmati dengan seharusnya dan sebaik-baiknya oleh warga negara di seluruh tanah air Indonesia? Tulisan singkat saya ini membahas akar masalah kekurangan, dan ketidaktersedianya tenaga guru yang dibutuhkan di kecamatan Selaru kabupaten MTB, lebih khusus Sekolah-sekolah di desa Lingat. Mengapa di kecamatan Selaru, desa Lingat? Sebenarnya jika berbicara pendidikan di MTB, maka di kabupaten MTB yang terdiri dari 9 kecamatan dan 72 desa mengalami persoalan yang kurang lebih hampir sama, alias tidak jauh berbeda, dan ini kita harus akui, yaitu kekurangan tenaga guru serta sarana prasarana dan penunjang lainnya yang masih minim dan terbatas.

Akan tetapi, saya tidak berani membahas semua daerah yang ada. Sebab, persoalan data dan fakta dilapangan yang tidak saya miliki. Karenanya, saya hanya ingin membahas di desa Lingat, kecamatan Selaru. Ini juga jangan dianggap karena saya asal dari kampung Lingat, sehingga, hanya ingin mengangkat persoalan pendidikan disana saja. Namun, alasannya sangat mendasar, karena memang saya melihat langsung (saksi mata) atas proses pendidikan yang terjadi disana. Dengan demikian, menjadi tanggungjawab saya untuk mengangkat hal ini ke public, agar kita secara bersama –sama bisa mengetahui dan harapannya, pemangku kebijakan di daerah kabupaten dapat meresponnya dan menyikapinya sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki.

Bulan januari 2012, waktu itu saya masih berada di Lingat. Di minggu kedua bulan itu, masa liburan telah selesai. Para siswa - siswi dan guru dari TK, SD dan SMP kembali aktif di sekolah masing-masing, dan memulai mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) seperti biasanya. Ironisnya, beberapa hari saya perhatikan, siswa – siswi SD misalnya, dipulangkan oleh guru pada waktu yang tidak seharusnya, alias lebih awal dari waktu pulang sekolah biasanya. Siswa – siswi SD ini pun ada beberapa yang malas ke sekolah. Inilah yang membuat saya mulai mencurigai. Saya lalu bertanya dalam hati, ada apa sebenarnya? Apa yang sedang terjadi?

Kebetulan rumah saya berdekatan dengan SD Inpres Lingat. Suatu hari saya memutuskan untuk mendekat dan melihat dari luar pagar aktifitas siswa – siswi di sekolah tsb. Ternyata, yang terjadi adalah, ada siswa –siswi yang bermain – main di halaman sekolahnya, ada juga sebagian yang bermain di dalam ruang kelas. Keesokan harinya saya perhatikan, ternyata aktifitas yang sama masih dilakukan. Saya pun mulai bertanya ke salah seorang siswa. “kenapa dong seng belajar?” (kenapa kalian tidak belajar?), jawabnya: seng ada guru kaka (Tidak ada Guru kak)

Persoalan yang sama juga terjadi di SD Kristen Lingat. Siswa –siswi tersebut kadang bermain, kadang dipulangkan lebih awal dari waktu pulang sekolah, sebab tidak ada guru yang mengajar. Guru yang ada pun jumlahnya sedikit, tidak lebih dari 6 (enam) guru. Dengan demikian, kadang 1 (satu) tenaga guru bisa memegang 2 (dua) kelas (mengajar semua mata pelajaran dan sekaligus menjadi wali kelas). Di SMP Negeri 3 di Lingat pun tidak jauh berbeda persoalannya. Siswa – siswi kadang malas ke sekolah, dan (KBM) pun tidak terlaksana dengan baik. Alasannya cuman satu, kekurangan tenaga guru menyebabkan KBM tsb kadang tidak terlaksana. Siswa –siswi pun hanya bermain, lantas mereka malas ke sekolah. Saya sempat mendengar juga dari salah seorang siswa, bahwa kadang guru di sekolahnya mengajar mata pelajaran diluar bidang studinya/mata pelajaran yang bukan jurusannya/kompetensinya, dan alasannya cuman satu, lagi-lagi karena kekurangan tenaga guru.

Melihat persoalan yang sama terjadi di SD dan SMP di Lingat ini, sebagai anak daerah, saya tentu prihatin dengan kondisi yang ada. Amanat UUD tahun 1945 yang telah disebutkan diatas, sekali lagi saya sebutkan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Ternyata, hak itu belum dinikmati sepenuhnya oleh warga negara di beberapa daerah pelosok/pedalaman tanah air Indonesia ini, sebut saja salah satunya, anak-anak di Lingat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kebetulan pada satu kesempatan, ada seorang guru yang saya temui, saya kemudian bertanya tentang persoalan kekurangan tenaga guru ini, baik yang terjadi di SD maupun SMP ke beliau. “Sebenarnya tenaga guru lumayan cukup banyak, baik di SD maupun SMP. Tetapi, dengan adanya Pemilihan Kepala daerah (Pemilukada), Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten MTB bulan November 2011 yang lalu, ada dugaan keterlibatan beberapa Guru, baik SD dan SMP dalam mendukung/memilih salah satu pasangan kandidat bupati dan wakil bupati tertentu.

Para team sukses dari calon bupati yang juga adalah incumbent, Drs Bitsael Silvester Temmar melaporkan dugaan beberapa guru ini ke sang bupati tsb yang masih menjabat, akibatnya calon bupati pada pemilukada 2011 yang masih aktif sebagai bupati ini merasa guru – guru ini tidak mendukungnya/memilihnya, lantas beliau pun kemudian memberi sanksi kepada mereka. Ada yang diturunkan dari jabatannya sebagai kepala sekolah menjadi guru bantu, kemudian ada yang dipindahkan ke sekolah di desa, kecamatan lain. Anehnya, pemindahan guru – guru ini tidak diikuti dengan pengisian guru – guru baru dari tempat lain untuk menempati kekosongan guru pada sekolah di Lingat ini” ujarnya kepada saya. Saya kemudian menyimpulkan, inilah akar masalah dari ketidaktersedianya/kekurangannya tenaga guru di SD maupun SMP di Lingat yang akhirnya menyebabkan anak – anak sekolah SD dan SMP terlantar, dan tidak mendapatkan haknya dalam hal ini, memperoleh pengajaran, sebagaimana janji UUD tahun 1945.

Berkaitan dengan tindakan calon bupati pemilukada 2011, yang dalam hal ini sebagai incumbent, terhadap Guru –guru tsb, menurut analisa saya, ada beberapa hal:

Pertama, setiap orang memiliki hak untuk memilih dan pilih dalam pemilihan umum, dan itu diatur dalam UUD tahun 1945, itulah hak politik setiap warga negara. Dan Pada konteks pemilukada MTB ini, para guru memiliki hak untuk memilih siapapun pasangan bupati dan wakil bupati, tanpa ada paksaan atau intervensi dari pihak manapun. Sebaliknya, menjadi persoalan jika para guru secara terang benderang aktif sebagai team sukses dari salah satu pasangan kandidat bupati dan wakil bupati, atau aktif dalam kegiatan salah satu partai pendukung pasangan kandidat bupati dan wakil bupati, maka itu jelas tidak boleh. Sebab, PNS dilarang aktif dalam partai politik atau kegiatan kampanye, dan itu jelas larangannya diatur dalam Undang – Undang Pemilu.

Kedua, jika benar bahwa bupati memberikan sanksi hanya karena para guru tidak mendukungnya/memilihnya, maka jelas ini sebagai dendam politik bupati, dan para guru pun menjadi korban. Oleh karena itu, bagi para guru, ada jalur hukum yang bisa digunakan untuk menggugat bupati, yaitu dengan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan (SK pindah) yang dirasa merugikan dan dianggap sebagai balas dendam bupati terhadap para guru. Asalkan para guru memiliki bukti yang cukup, besar kemungkinan, keadilan yang dikejar bisa tercapai. Oleh sebab itu, janganlah takut dan menyerah, bertindaklah!

Ketiga, jika benar itu adalah dendam politik bupati, sehingga memberi sanksi berupa pemindahan sejumlah guru ke tempat lain hanya karena para guru tidak memilihnya dalam pemilukada, jelas menunjukan bupati tidak profesional, dan tidak siap menerima kekalahan jika benar kalah dalam pemilukada. Bupati seperti ini jelas tidak pantes menjadi pemimpin, dan tidak perlu di pilih lagi oleh rakyat dalam pemilukada selanjutnya. Pemindahan sejumlah guru hanya karena dendam politik, menandakan sang bupati lebih mementingkan kepentingan pribadinya dari pada kepentingan masyarakat banyak, dalam hal ini terjadinya kekurangan guru di berbagai sekolah di Lingat, akibat sanksi yang diberikan bupati, dan menyebabkan para siswa –siswi terlantar. Hak untuk mendapatkan pengajaran pun tak terpenuhi.

Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Sekali lagi, itu adalah amanat UUD tahun 1945 sebagai konstitusi tertinggi kita. Maka, setiap warga negara di seluruh daerah, pelosok dan daerah pedalaman di negeri ini berhak untuk memperolehnya, dan tidak ada satu orang pun/lembaga apapun yang bisa membatasi/menghalangi mereka untuk menikmati hak itu. Dari penuturan salah seorang guru di Lingat yang telah saya sebutkan diatas, bisa ditarik sebuah kesimpulan, yaitu pemulangan siswa – siswi SD maupun SMP di Lingat tiap harinya, yang lebih awal dari waktu pulang sekolah karena KBM tidak berjalan dengan baik. Siswa – siswi di sekolah sering sekali bermain dan tidak memperoleh pengajaran, dikarenakan tidak ada guru yang mengajar. Akar masalahnya yaitu Kekurangan/tidak tersedianya jumlah tenaga guru yang dibutuhkan tiap sekolah. Kekurangan/tidak tersedianya jumlah tenaga guru yang dibutuhkan karena dipindahkan oleh bupati pasca pemilukada. Dengan demikian, pelajar SD dan SMP disana terlantar, nyaris tak menikmati pendidikan sebagaimana janji UUD tahun 1945. Mengakhiri tulisan ini, ijinkan saya untuk bertanya: Ini salahnya siapa? Bupati atau guru setempat? Anda bisa menjawab sendiri.

Cartes A Rangotwat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar