Kamis, 20 Juni 2013

PLURALITAS DI INDONESIA



Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, Negara Indonesia terlahir sebagai bangsa yang besar, terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan budaya, dll. Ya, Indonesia adalah Negara paling heterogen di dunia. Terdapat 14 (empat belas) etnis utama dan 300 kelompok etnik. Bentang alam geografis dan topografisnya yang terpisah dan terisolasi dengan satu pulau dan yang lainnya, ini adalah kondisi yang mendorong bertumbuhnya ciri – ciri suku bangsa, bahasa dan kebudayaan yang beraneka ragam sesuai dengan wilayahnya masing-masing.[1] Kenyataan ini mengantarkan kita kepada sebuah konsep bahwa Indonesia bukan terbentuk dari satu suku, satu budaya, satu agama, satu ras dan golongan namun justru Indonesia terbentuk dari keberagaman/keperbedaan. Pemahaman inilah yang membawa kita kepada sebuah istilah yang sering kita dengar dan temui dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yaitu Negara kita Indonesia merupakan Negara yang Pluralis. Kata Pluralis atau dalam tema pada kesempatan ini menyebutkan pluralitas, sebenarnya apa itu? Apa bedanya dengan pluralisme? Atau dalam bahasa yang lebih keren, barang macam apakah itu? Apakah artinya keperbedaan yang mungkin terlintas dalam pikiran kita ketika mendengarnya. Tulisan singkat sebagai pengantar diskusi kita pada saat ini hendak menguraikan 2 (dua) hal yaitu: apakah pluralitas dan pluralisme itu dan bagaimana landasan yuridisnya? Bagaimana pluralitas/pluralisme agama dalam perspektif iman Kristen?

Apakah Pluralitas dan Pluralisme itu dan Bagaimana Landasan Yuridisnya?
Kata pluralitas, dalam KBBI ada 2 kata yang ditemukan yaitu Plural dan Pluralis. Plural memiliki makna: jamak; lebih dari satu. Pluralis memiliki makna: bersifat jamak (banyak). Dalam kamus hukum, terdapat kata Pluralistis yang bermakna: memiliki sifat majemuk. Istilah pluralitas juga bermakna kenyataan atau fakta bahwa terdapat keanekaragaman. Selanjutnya istilah Pluralisme berasal dari dua kata, yaitu kata “plural” yang bermakna: jamak/lebih dari satu macam/tidak seragam, dan kata “isme” yang bermakna: paham/ajaran/keyakinan. Jadi Pluralisme dapat dipahami sebagai suatu paham/ajaran/keyakinan yang menerima keanekaragaman sebagai suatu fakta/realitas. Dalam kamus hukum juga terdapat istilah Pluralisme yang bermakna suatu keadaan masyarakat yang majemuk yang bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya;
Dengan demikian kita dapat memahami batasan mengenai Pluralitas dan Pluralisme, bahwa Pluralitas bermakna memiliki sifat kemajemukan/terdapat keanekaragaman. Misalnya terdapat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, ras, budaya, agama, dll. Sedangkan  Pluralisme di pahami sebagai suatu paham /ajaran/keyakinan yang menerima dan mengakui keanekaragaman/kemajemukan sebagai fakta/realitas.

Pluralisme di mata para tokoh-tokoh Agama, antara lain:[2]
          ·          KH. Abdurrahman Wahid:
“Tempat agama, adalah pencarian batas-batas kepantasan hidup sebagai sebuah bangsa, sehingga pluralitas setinggi apapun kalau tetap dalam batas-batas kepantasan maka tidak ada masalah.”
          ·          Romo Benny Susetyo:
“Pluralisme adalah sebuah tempat dimana ada warna-warni dalam sebuah bangsa. Plural itu tidak satu, tidak seragam, tetapi keanekaragaman dalam budaya, agama, dan kepercayaan. Sejak awal manusia itu diciptakan dalam keberbedaan. Justru yang berbeda itu yang membuat antar manusia bisa berkomunikasi, jika tidak berbeda, tidak ada komunikasi”.
          ·          Ir Budi S. Tanuwibowo:
Sebuah Faham yang meyakini adanya keberagaman, kemajemukan, heterogenitas, kebhinekaan. Kita tidak tahu dan tidak dapat memilih kita dilahirkan sebagai rasa apa, warga Negara mana, tentu dalam hal ini kita harus merayakan perbedaan dengan toleransi.
          ·          Bernadete N. Setiadi:
Pluralisme berarti mengakui adanya perbedaan, ada toleransi, ada penghargaan terhadap kelompok lain, sehingga dimungkinkan untuk hidup bersama tanpa adanya konflik tapi juga tanpa adanya suatu paksaan dari satu pihak ke pihak lain”.

Landasan Yuridis Pluralitas dan/Pluralisme di Indonesia dalam UUD N RI Tahun 1945[3]
          ·          Pasal 18 B
          ·          Ayat 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
          ·          Pasal 28 E
Ayat 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Ayat 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
          ·          Pasal 28 I
Ayat 2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Ayat 3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
          ·          Pasal 29
Ayat 1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ayat 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
          ·          Pasal 32
Ayat 1. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Ayat 2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional

Penjaga dan Pengikat Pluralitas dan/Pluralisme di Indonesia antara lain:
1.      Pancasila sebagai Dasar Negara/Ideologi Bangsa Indonesia
2.      UUD N RI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia
3.      Semboyan Bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”
4.      Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Bagaimana pluralitas/pluralisme agama dalam perspektif iman Kristen?
Pluralisme agama merupakan sebuah konsep yang memiliki arti yang luas, menyangkut dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, serta digunakan dalam cara yang berbeda-beda pula:[4]
1)   merupakan gagasan dunia yang mengatakan bahwa agama yang dianut seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang ekslusif bagi kebenaran dan di dalam agama-agama lain bisa ditemukan setidaknya sebuah kebenaran.
2)   menerima konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama mempunyai klaim-klaim kebenaran ekslusif sama-sama sahih. Pendapat ini sering menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
3)  sering digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme yaitu upaya mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerjasama dan pemahaman yang lebih baik antar agama atau berbagai aliran dalam satu agama.
4)      sebagai persamaan untuk toleransi agama.
Pluralisme agama juga bisa kita maknai dalam 3 kategori antara lain:[5] Pertama, kategori sosial.  Dalam pengertian ini, pluralisme agama dimaknai ”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika dan moral. Pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Kategori teologi-filosofi. Yang dimaksud adalah ”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”.

Pluralisme Agama memang sangat penting dan harus dipahami dan diwujudkan secara benar dan tepat oleh setiap kita yang merupakan warga bangsa Indonesia. Sebab, sebagaimana kita ketahui Indonesia merupakan Negara pluralistik,  yang mana di sisi lain selain merupakan kebanggaan dan kekayaan bagi kita karena kita hidup dalam keperbedaan suku, agama, ras, antar golongan yang saling melengkapi, mendukung, menjaga, melindungi dan menghormati serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan antar sesama. Namun disisi lain dengan keperbedaan ini tak menutup kemungkinan mengancam keutuhan dan kebersamaan serta dapat menciptakan konflik antar sesama jika pluralisme agama tidak di pahami dan di wujudkan secara tepat dan benar. Sebab, pluralisme agama memang simpatik karena ingin mewujudkan teologi yang terdengar sangat toleran, dalam artian: semua agama sama-sama benar. Semua agama menyelamatkan. Walau demikian pluralisme agama pada prinsipnya menyangkali iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita harus menolak pandangan bahwa semua agama menuju pada Allah dan semua agama menyelamatkan. Kaum Nasrani perlu berani mengakui perkataan Tuhan Yesus “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Bersikap demikian bukan fanatik atau tidak memiliki pluralisme agama tetapi bersikap demikian adalah konsisten. kita perlu menerima pluralisme agama secara sosial, tetapi pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi harus kita tolak dengan tegas[6]

Penutup
Sebagai warga Negara dan warga kerajaan sorga, kita hidup di Negara yang Pluralistis, bukan merupakan tantangan dan ancaman serta musibah bagi kita karena perbedaan yang ada. Tapi justru kita harus bersyukur dan berterima kasih karena kita diciptakan Tuhan dan ditempatkan di Indonesia yang terdiri dari beranekaragam suku, agama, ras dan golongan. Kita ada untuk membangun kerukunan umat beragama dan bertanggungjawab untuk itu, memelihara perbedaan yang ada, menjunjung tinggi nilai toleransi tetapi tidak larut di dalamnya sehingga melupakan prinsip-prinsip kekristenan “katakan ya untuk ya dan katakan tidak untuk tidak. Kita ada untuk menjadi Garam dan Terang di tengah keperbedaan yang ada.   



[1] Keynote Speech Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI pada acara Seminar Nasional dan Brawijaya Publik Lecture Series CCFS 2013 dengan tema “Laman Batas Dalam Perspektif Ketahanan Budaya” Malang 11 Juni 2013.
[2] Serumpun Bambu: Jalan Menuju Kerukunan Sejati, Edisi Revisi, Yudharta Advertising Design, 2006 hlm. 72
[3] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[4] http://id.wikipedia.org
[5] Bedjo, Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen. Surabaya, 2007 hlm. 1
[6] Ibid

Selasa, 21 Mei 2013

MENGGAGAS PERDA YANG INTEGRAL DAN PARTISIPATIF


Cartes Asbit Rangotwat[1]

I.          Latar Belakang.
            Dalam mewujudkan pemerintahan daerah sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI Tahun 1945), pemerintahan daerah di setiap daerah di Indonesia, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, tujuannya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran, serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;[2]
            Negara Indonesia adalah negara hukum, maka sudah tentu dalam penyelenggaraan pemerintahaan, baik penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun daerah, pemerintah dalam hal ini eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan tugasnya senantiasa berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak terjadi penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) dan semena-mena dalam bertindak menjalankan tugas dan wewenangnya. Pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya telah diatur dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah melingkupi tugas dan wewenang pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif.
            Amanat Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tersebut memberikan keleluasaan bagi pemerintahan daerah dalam mengurus dan mengatur daerahnya masing-masing sesuai dengan lingkup tugas dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud. Singkat kata, berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 pemerintah daerah dan DPRD diberikan peran dan tanggungjawab yang besar dalam menentukan arah dan keberhasilan pembangunan didaerahnya masing-masing. Salah satu instrument pendukung dalam pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintah, khususnya pemerintahan di daerah adalah adanya Peraturan Perundang-Undangan berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan daerah, dll sebagai dasar hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk lebih spesifik menyoroti Peraturan Daerah (PERDA) sebagai salah satu dasar hukum pemerintahan daerah walaupun kedudukannya paling rendah (menurut pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan) dalam menentukan dan mendukung arah pembangunan dan keberhasilan pemerintah daerah untuk melaksanakan program-program/kebijakan di daerah.
            Pada konteks kekinian, Peraturan daerah tak lepas dari sorotan publik. Mengapa? Ya, sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas bahwa eksistensi Perda memiliki kedudukan hukum yang begitu sangat penting, kuat dan strategis dan menentukan arah pembangunan di daerah. Namun, dalam realitasnya masih banyak PERDA yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri, masih banyak PERDA yang bertentangan dengan Peraturan diatasnya misalnya Undang-Undang, masih banyak Perda yang protes/di tolak oleh masyarakat di daerahnya, dll. Hal ini disebabkan karena PERDA mengalami cacat/bermasalah dari pembentukan PERDA, bisa saja karena dalam pembentukan belum memenuhi aspek formilnya berupa Proses/tahapan Pembentukan atau aspek materiilnya berupa materi muatannya (subtansi) belum/tidak terpenuhi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka melalui makalah ini penulis ingin membahas dan mendiskusikan secara spesifik apa dan bagaimana pembentukan sebuah PERDA yang memenuhi aspek formil maupun aspek materiil. Adapun 2 pokok permasalahan dalam makalah ini yang hendak dibahas dan diskusikan penulis adalah sebagai berikut:  
 
II.        Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksudkan dengan Pembentukan PERDA yang Integral dan Partisipatif?
  2. Bagaimana Pembentukan sebuah PERDA yang Integral dan Partisipatif?
      III.       Pembahasan
Dalam konteks ini, yang dimaksudkan penulis sebuah pembentukan PERDA yang integral dan partisipatif adalah secara umum pembentukan PERDA yang integral adalah pembentukan PERDA yang menyeluruh/utuh baik dari aspek formilnya yaitu berbicara menyangkut proses/tahapan pembentukan dan aspek materiilnya yaitu berbicara menyangkut materi muatan (subtansi) dari sebuah produk hukum daerah dalam hal ini PERDA tersebut harus terpenuhi.

Apa dan bagaimana Pembentukan PERDA yang Integral dan Partisipatif.
A. Pembentukan PERDA yang Integral
Kata integral menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah a meliputi seluruh bagian yg lengkap; utuh; sempurna. Pembentukan sebuah produk hukum daerah dalam hal ini PERDA yang dimaksudkan penulis disini yaitu PERDA yang integral yaitu pembentukan perda mulai dari aspek formil meliputi proses/tahapan pembentukan secara prosedural dan formil sampai kepada pembentukan perda secara materiil meliputi materi muatan (subtansi) secara menyeluruh/utuh bagian-bagiannya sesuai dengan pembentukan perundang-undangan yang baik dan memenuhi syarat-syarat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbicara menyangkut proses/tahapan pembentukan sebuah PERDA, menurut Moh. Fadli tahapan pembentukan PERDA ada 3 antara lain:[3]
1. Tahap Pra Legislasi
Tahap pra legislasi sebuah produk hukum daerah yaitu PERDA di mulai dari perencanaan pembentukan PERDA, persiapan penyusunannya (pengkajian, penelitian dan penyusunan naskah akademik) selanjutnya mengenai teknik dan mekanisme penyusunan serta tahap penyusunan PERDA tersebut.
2. Tahap Legislasi
Setelah tahap pra legislasi selesai, maka tahap selanjutnya adalah Tahap legislasi, meliputi pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) oleh DPRD (legislatif) dan Kepala Daerah (eksekutif), sekaligus partisipasi dari publik dan pengujian sahih atas RAPERDA kemudian pengesahan, penetapan dan pengundangan PERDA tersebut.
3. Tahap Pasca Legislasi
Selanjutnya, sesudah tahap legislasi maka tahap terakhir dari tahapan pembentukan PERDA yaitu tahap pasca legislasi. Tahap pasca legislasi meliputi: pendokumentasian, penyebarluasan (termasuk via eletronik dan penyuluhan) penerapan dan evaluasi.
            Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hal ini RAPERDA, 3 tahap inilah yang harus dilakukan menyeluruh/utuh sesuai dengan bagian-bagiannya dan RAPERDA tersebut didasarkan pada Program Legislasi Daerah (PROLEGDA) yang dilaksanakan oleh sebuah Badan Legislasi Daerah (BALEGDA) yang ada di DPRD, dibentuk oleh DPRD yang secara khusus mengkordinir dan menangani proses/tahapan pembentukan legislasi oleh legislatif. Namun, dalam keadaan tertentu dapat dibuat perda yang belum termuat dalam prolegda karena tuntutan kebutuhan perkembangan zaman pada saat itu.
            Kemudian dari segi materiil (subtansi) sebuah RAPERDA, menurut Jazim Hamidi[4], materi muatan Peraturan Daerah, yang penting dan harus diperhatikan serta dibuat adalah, pertama Landasan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi: landasan filosofis, landasan yuridis (landasan yuridis formal & landasan yuridis materiil), landasan politis, landasan sosiologis, landasan ekologis, dan landasan ekonomis, dsb. Dari segi sistematika batang tubuh, pilihan sistematika yang baku bagi penuangan  ketentuan-ketentuan; adanya definisi (pengertian umum), menghindari penggunaan kata-kata yang mengandung arti ganda. Pilihan untuk memasukkan hal-hal yang erat berkaitan  dengan satu bab, satu pasal, satu paragraf, atau satu bagian. Dari segi ragam bahasa, meliputi: perlunya penggunaan bahasa hukum yang sudah baku (baik pada struktur kalimat, peristilahan, dan tanda baca).
            Membicarakan segi subtansi/materiil, tak lepas dari asas hukum yang harus terkandung dalam sebuah PERDA. Maka, dalam perumusan dan pembentukan Peraturan Daerah tersebut perlu dan sangat penting memuat asas-asas dan prinsip mengenai hal yang diatur dalam Peraturan Daerah yang dimaksud. Oleh sebab itu, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, termasuk Peraturan Daerah harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, yang meliputi:[5]
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik antara lain:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas antara lain:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;ne.com
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

B. Pembentukan PERDA yang Partisipatif.
Kata partisipasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan. Pengertian yang lain tentang Partisipasi dan Tahapannya[6] yaitu. Secara etimologis kata partisipasi berasal dari bahasa latin “partisipare” artinya mengambil bagian atau turut serta. Menurut Talizuduhu Ndraha, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi seseorang atau kelompok masyarakat untuk mengambil bagian dalam usaha pencapaian tujuan bersama dan dalam pertanggungjawabannya. Jadi sebenarnya konsepsi partisipasi itu terkait secara langsung dengan ide demokrasi dan konsep hukum. Tahapan-tahapan Partisipasi antara lain: partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan hasil, dan partisipasi dalam evaluasi.
            Pembentukan sebuah produk hukum daerah dalam hal ini PERDA yang dimaksudkan penulis disini yaitu Pembentukan PERDA yang partisipatif yaitu dalam proses pembentukan perda yang mana masyarakat secara umum, contohnnya melibatkan Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Organisasi Kemasyarakatan/keagamaan untuk ikut berpartisipasi dan pembentukan Perda tersebut yaitu tahap Pra Legislasi, tahap Legislasi dan tahap Pasca Legislasi. Perda yang baik adalah perda yang memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat dan di terima oleh masyarakat sehingga diharapkan PERDA tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam mewujudkan masyarakat yang adil, aman, sejahtera dan tenteram.

IV.       Penutup
Menggagas Perda yang Integral dan Partisipatif adalah penting dan harus. Perda yang Integral dan Partisipatif adalah solusi untuk mengatasi problematika tentang Pelaksanaan Fungsi BALEGDA di DPRD (legislatif) maupun bagian/biro hukum di lingkungan pemerintah daerah (eksekutif) dalam menciptakan Produk Hukum Daerah dalam hal ini PERDA. Dikarenakan sampai saat ini belum maksimalnya peran, fungsi Balegda dan bagian/biro hukum di PEMDA sehingga mengakibatkan PERDA yang dihasilkan masih jauh dari sebuah Peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh sebab itu, menggagas PERDA yang integral dan partisipatif perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan DPRD.



[1] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Penyelenggaraan Negara Angkatan 2012, sedang menempuh mata kuliah Perancangan PERDA di semester 2.
[2]  Landasan Filosofi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[3] Moh. Fadli, Reformulasi Tahap Pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Daerah, PPT materi kuliah Perancangan Peraturan Daerah semester 2 konsentrasi Hukum Tata Negara Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
[4] Jazim Hamidi, Prinsip-prinsip pembentukan PERDA yang baik, PPT materi kuliah Teori Perancangan Peraturan Perundang-Undangan semester 2 konsentrasi Hukum Tata Negara Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
[5] Pasal 5 – 6 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[6] Jazim Hamidi, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan PERDA dan Beberapa Masalahnya, PPT materi kuliah Teori Perancangan Peraturan Perundang-Undangan semester 2 konsentrasi Hukum Tata Negara Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.